Konsorsium Peneliti Kembangkan DSSC

Konsorsium beberapa peneliti perguruan tinggi (PT) di Indonesia mengembangkan sel surya berbasis pewarna (dye sensitized solar cell/DSSC). Adapun yang terlibat diantaranya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah mada (UGM), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Ma Chung Malang, dan lainnya, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Peneliti dari UNS, Agus  Supriyanto menyebutkan riset DSSC dilatarbelakangi oleh semakin menipisnya cadangan minyak bumi. Oleh karena itu, diperlukan solusi sumber energi terbaru dengan memanfaatkan energi alternatif yang tersedia secara melimpah. Indonesia, yang merupakan negara tropis, memiliki energi matahari yang melimpah. Energi matahari tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk kehidupan sehari-hari.

Untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik, dibutuhkan teknologi sel surya (solar cell). Sel surya yang saat ini beredar di pasar menggunakan material silicon yang harganya cukup mahal, mengingat investasi peralatan dan teknologinya pun mahal. “Kita coba kembangkan sel surya berbasis pewarna yang ditemukan oleh Prof Gratzel pada tahun 1991. Sel surya ini lebih ekonomis dibanding sel surya berbahan silicon,” tutur Agus.

Sel surye berbasis pewarna terdiri atas empat material, yaitu substrat, titanium, dye (pewarna alami), dan elektrolit. Titanium dan pewarna alami merupakan komponen penting dalam sel surya berbasis pewarna. Titanium berfungsi untuk menyalurkan energi listrik yang sudah diserap, sedangkan pewarna alami berfungsi untuk menyerap sinar matahari. Pewarna alami yang digunakan dalam sel surya ini berasal dari bunga rosella dan klorofil dari alga. “UNS kita sudah eksplorasi pewarna alami dari berbagai tumbuhan. Seperti alga untuk klorofil, (bunga rosella) untuk antosianin, bunga mawar, dan ragam tumbuhan lainnya,” ungkapnya.

Titanium dipilih karena ketersediaannya cukup melimpah di Indonesia dan lebih murah dibandingkan dengan silica yang diolah menjadi silicon. Titanium diperoleh dari pemisahan kandungan besi dan titanium dari ilmenite. Ilmenite merupakan sisa pembuatan  timah di Bangka Belitung. Ilminite ini mengandung sekitar 70 persen titanium. Selain itu, titanium juga dapat diperoleh dari pasir besi di kawasan pandeglang, Jawa Barat. Akan tetapi, pasir besi tersebut hanya mengandung 10 persen titanium.

Kepala Bidang (Kabid) riset IPTEK Energi dan Material Maju Kemenristek, Dr. Syafarudin B., Eng, M. Eng mengungkapkan sumber energi matahari sangat melimpah di Indonesia dan harus dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran adan kemajuan bangsa. “Posisi Indonesia yang berada di garis katulistiwa memiliki potensi energy matahari yang sangat besar dengan rata-rata 4.800 Wh per meter persegi setiap hari. Paling rendah di wilayah Bogor yakni 2.500 Wh per meter persegi tiap hari, kemudian paling tinggi di Papua bisa mencapai 5.700 Wh per meter persegi setiap hari,” ujarnya.

Jika energi matahari tersebut dapat terserap 100 persen dengan sel surya berbasis pewarna, maka dapat dihasilkan energi listrik 1kWh perjam. Untuk tahap pertama, sel surya ini masih berbentuk prototipe yang digunakan untuk charger handphone, lampu laboratorium, lampu taman, dan lainnya. Syafarudin berharap dalam jangka waktu 10 tahun, energi tersebut sudah dapat dinikmati.

Sementara itu, Kabid Bahan dan Komponen Mikroelektronika LIPI Bandung, Dr. Goib Wiranto mengatakan teknologi sel surya berbahan pewarna terseb ut jauh lebih murah dibandingkan dengan sel surya berbahan silicon. “Investasi peralatan dan teknologi sel surya berbahan silicon bisa menghabiskan dana ratusan milyar rupiah. Sedangkan sel surya berbasis pewarna alami ini dananya tidak sampai satu persen dari total dana sel surya berbahan silicon. Hanya butuh teknologin screen printing (penyablonan). Jadi siapa saja bisa masuk disini, bahkan home industry,” tutur dia. [red-uns.ac.id]