UNS Kukuhkan Dua Guru Besar

Universitas Sebelas Maret (UNS) kembali mengukuhkan dua guru besar, yaitu Prof. Dr. Ir. Hadiwiyono, M.Si dari Fakultas Pertanian (FP) dan Prof. Sulistyo Saputro, M.Si, P.hD dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada Selasa (3/12) di Auditorium UNS.

Staf Kantor Humas dan Kerjasama, Bahtiar, menyebutkan keduanya diangkat berdasarkan atas SK Mendikbud Nomor 110114/A4.3/KP/2013 untuk Hadiwiyono dan SK Mendikbud Nomor 144575/A4.3/KP/2013 untuk Sulistyo Saputro. Hadiwiyono menjadi guru besar UNS ke 153, sedangkan Sulisto Saputro menjadi guru besar UNS ke-154 . Dengan pengukuhan dua guru besar tersebut,  maka kini UNS telah memiliki 157 guru besar.

Dalam acara pengukuhan tersebut, Hadiwiyono menyampaikan orasi ilmiah berjudul Pengelolaan Penyakit Tanaman Berbasis Pengendalian Hayati dalam Pembangunan Ketahanan Pangan. Dalam orasi tersebut, Hadiwiyono menitikberatkan pada penyakit tumbuhan. “Di sini intinya pada tahun 2050 mendatang, berdasarkan analisis data pertumbuhan penduduk dan laju produksi pangan, kita akan alami kekurangan pangan karena lahan untuk tanaman sendiri sempit,” ungkapnya.

Hal tersebut tidak hanya unsur pertumbuhan penduduk yang menjadi masalah, lanjutnya, tetapi unsur pangan maupun non pangan seperti bertambahnya banyak perumahan, sekolah, tempat ibadah, serta infrastruktur lainnya turut mengancam keberadaan lahan tanah yang semakin sempit. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini sekitar 250 juta atau seperempat miliar jiwa, yang diperkirakan akan meningkat menjadi 600 juta jiwa pada 2050, maka perlu dilakukan upaya dan kerja keras yang lebih dari itu dalam memenuhi kebutuhan.

Untuk meningkatkan upaya, terutama meningkatkan laju produksi pangan dari sector pertanian, menurut Hadiwiyono masih terdapat beberapa kendala, seperti organisme pengganggu tanaman atau pathogen penyakit tanaman. Di sisi lain, penggunaan pestisida untuk membasmi organisme atau pathogen penyakit tanaman saat ini dinilai telah berlebihan dan tidak bijak lagi. Karena, dapat mengancam produktivitas tanaman dan mengakibatkan munculnya organisme pengganggu tanaman (OPT) tertentu atau penyakitbaru, seperti galur ganas yang disinyalir akibat penggunaan pestisida. “Perlu perkembangan alternatif yang aman dan bisa berkelanjutan sehingga produktivitas perhatian juga bisa ditingkatkan selain sistem yang sudah ada. Yakni dengan pengendalian hayati, yang memiliki banyak kelebihan seperti aman terhadap lingkungan, tidak timbulkan polusi kimia, maupun gangguan kesehatan pada manusia,” tuturnya.

Sementara itu, Sulistyono membawakan orasi ilmiah yang berjudul Pengembangan Solid-Phase Spectrophotometry (SPS) dan Aplikasinya untuk Spesiasi Ion Toksik dalam Air. Ia mengemukakan SPS tersebut diaplikasikan untuk spesiasi ion toksik dalam air, seperti kandungan kromium. Berdasarkan penelitiannya, kromium dalam air seringkali ditemukan dalam dua macam bilangan oksidasi yakni Cr (III) dan Cr (IV). Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang pada reaktivitas kimia dan biokimia serta toksisitasnya.

“Cr (III) ini ion esensial bagi tubuh dan bermanfaat untuk mengatur metabolisme karbohidrat, asam lemak, kolesterol, asam lemak, kolesterol dan kadar gula. Beda dengan Cr (VI) yang sangat toksik bagi tubuh dan menimbulkan efek buruk kesehatan salah satunya memicu kanker,” ujar Sulistyo.

Kajian kandungan kroumium dalam air yang dilakukan Sulistyono mengambil dari efek klorinasi. Pada beberapa pipa-pipa air minum sering ditambah dengan beberapa oksidator seperti gas klorin, kaporit, atau natrium hipoklorit. “Dari analisis SPS ini kita ketahui apakah klorinasi dapat membuat Cr (III) yang awalnya bagus berubah menjadi Cr (VI) yang berbahaya bagi kesehatan,” katanya.

SPS sendiri telah mampu mengidentifikasi ion arsenat (racun arsenic) dalam air. Hal itu dilakukan di Pracimantoro (Wonogiri) dan Cokrotulung (Klaten). Selain itu, Sulistyo juga akan mengembangkan metode SPS-nya untuk kandungan fluoride dalam air. Adapun keunggulan dari metode SPS tersebut yakni tingkat keakuratannya 330 kali lebih sensitif dibandingkan dengan metode lainnya. Ia juga menyebutkan bahwa alat tersebut lebih murah dibandingkan alat sejenisnya. Untuk instrument Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry (ICP-MS) dan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) per unitnya dapat menghabiskan dana Rp 1,5 milyar, sedangkan SPS yang dikembangkan oleh Sulistyono hanya Rp 60 juta. [red-uns.ac.id]