Arsitektur Nusantara Tak Diminati PT
Aristektur Nusantara tak diminati oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi (PT) yang menyelenggarakan program studi (prodi) maupun jurusan arsitektur. Dari lima PT yang memiliki prodi atau jurusan Arsitektur, tidak ada satupun yang mengajarkan arsitektur nusantara sebagai materi utama arsitektur.
Demikian ungkap Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch. IAI dalam seminar Menggagas Pengembangan Pengetahuan Arsitektur Jawa, Kamis (5/12), di gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS).
Prijotomo berkata bahwa Arsitektur di PT cenderung didominasi oleh Arsitektur Eropa. Porsi Arsitektur Nusantara jauh lebih sedikit dibanding dengan Arsitektur Eropa.
Dia menuturkan, jika mahasiswa S1 Arsitektur mengharuskan capaian Satuan Kredit Semester (SKS) sebanyak 144 SKS, 140 SKS diantaranya adalah ilmu arsitektur luar negeri termasuk Eropa. Sisanya adalah Arsitektur Nusantara. “Paling banyak itu 8 SKS. Karena porsi terlalu kecil ini, banyak arsitek yang tak peduli arsitektur bangsa sendiri,” tutur Prijotomo.
Arsitektur Jawa
Prijotomo berujar bahwa arsitektur Jawa cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Arsitektur Nusantara banyak menggunakan kayu sebagai material bangunan. Bangunan kayu ini dimaksudkan untuk menjadi tempat bernaung dan berteduh.
Prinsip arsitektur Nusantara berkebalikan dengan arsitektur Eropa. Di Eropa, bangunan menggunakan tembok yang berfungsi untuk berlindung karena Eropa memiliki empat musim dan tidak ada gempa. “Arsitektur Nusantara punya kesempatan hidup sampai akhir zaman. Pas dengan bumi pertiwi yang dua musim dan akrab dengan gempa. Jadi, buat bangunan kayu untuk bernaung dan berteduh. Sedangkan di Eropa, musim dingin itu musim yang paling ditakuti. Untuk bersembunyi dan berlindung dari suhu dingin, arsitektur dibuat tembok,” ujar Prijotomo.
Menurut Prijotomo, para arsitek Indonesia tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan Arsitektur Nusantara. Orientasi para arsitek adalah ke depan. Ketika, mereka dihadapkan pada Arsitektur Nusantara, mereka menganggap sedang melihat ke belakang. “Tapi saya suka sekarang ini muncul generasi muda yang tertarik arsitektur Jawa di desa-desa serta pedalaman Flores dan Sulawesi,” tuturnya.
Sebaliknya, beberapa orang dari Jepang, Korea, Brasil, Skotlandia, dan Swiss pernah mengunjunginya belum lama ini. Mereka datang untuk belajar Arsitektur Nusantara.
Dia berharap, Arsitektur Nusantara bisa mendapatkan porsi lebih banyak dalam perkuliahan. Namun, belum ada PT yang menerima gagasannya. “Alasannya? Enggak ada SDM, pustaka enggak ada. Orientasi sekolah arsitektur itu masih pakai label globalisasi untuk menyaingi mancanegara,” kata Prijotomo. [red-uns.ac.id]