Hakim Harus Kreatif dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Cara berhukum hakim dalam menyelesaikan sengketa atau pengujian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus kreatif. Ia tidak melulu terbelenggu dominasi undang-undang. Tapi, ia harus dapat menggali, memahami, dan memperhatikan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Soehartono dalam ujian disertasinya yang berjudul Membangun Konstruksi Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Gedung Rektorat UNS pada hari Rabu, 19 September 2012. Ia menjelaskan, “Cara berhukum yang demikian tidak hanya berpikir dengan menggunakan logika dan aturan formal semata, tetapi juga menggunakan hati nurani, empati, dan perasaan.”

Keberanian hakim untuk melakukan penafsiran, konstruksi, dan hermeneutika hukum dengan melihat realita masyarakat, lanjut Soehartono, perlu mendapatkan dukungan atau motivasi dan tidak dipukul atau dimatikan kreatifitasnya. Dengan begitu, hakim akan mampu mengembangkan kemampuan dan kualitas profesionalnya, sehingga dapat menghadirkan tujuan hukum terutama kaitannya dengan keadilan substansial.

Doktor ke-54 yang dihasilkan UNS itu dalam disertasinya menemukan, hukum tertulis memang bersifat kabur. “Hal ini adalah persoalan semantik, bahwa bahasa memang tidak pernah jelas betul dan selalu interpretatif,” ujarnya.

Dia juga menemukan, di abad ke-20, banyak kitab undang-undang dari berbagai negara di dunia yang mulai memberikan wewenang yang lebih besar kepada para hakim. “Sebelumnya hakim bertindak seolah-olah sebagai seorang wasit yang pasif saja,” tuturnya.

Ia berpendapat, tugas hakim untuk membuat hukum bukan sekadar menemukan hukum. Tapi, harus terlihat dengan jelas urgensinya. “Karena dalam menerapkan hukum, hakim bukan saja harus memperhatikan dengan seksama tentang cara dan proses penerapan hukum melainkan juga harus memperhatikan hasil yang akan dicapai,” urai Soehartono.

Untuk itu, Doktor yang lulus dengan nilai 3,79 itu menyarankan, “Hakim harus berani keluar dari dominasi undang-undang dan melihat, memperhatikan kearifan lokal, berani melakukan pergerakan pemikiran tidak hanya bersifat tekstual saja, tetapi juga berani mencari makna di balik teks undang-undang,” pungkasnya. (Tim Web UNS).