Dosen FT Kembangkan Beton Memadat Mandiri
Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik (FT) UNS, Stefanus Adi Kristiawan, berhasil mengembangkan beton yang dinamai “Beton Memadat Mandiri” (Self-compact Concrete). Beton hasil penelitiannya tersebut menggunakan limbah terbang batubara (fly ash) sebanyak 70% sebagai unsur utamanya. Beton memadat mandiri ini dapat digunakan di lingkungan yang agresif, di mana lingkungan tersebut akan membuat beton mudah keropos.
Stefanus menjelaskan dalam jumpa pers, Kamis (29/01), bahwa beton yang bisa memadat sendiri ini pada awalnya dipelopori oleh Jepang. Kemudian banyak negara maju yang ikut mengembangkannya dengan komposisi komponen yang berbeda-beda.
Stefanus menjelaskan bahwa fly ash yang digunakannya adalah sisa hasil pembakaran batubara dari proses pembangkit tenaga listrik. “Selain untuk menekan jumlah semen yang digunakan, penggunaan fly ash ini dapat memadatkan beton meskipun lebih dari 28 hari (batas maksimal pemadatan beton pada umumnya-red) dan membuat beton bertahan lebih lama,” tambahnya.
Komponen dari beton memadat mandiri dengan fly ash 70% ini tidak jauh berbeda dengan komponen beton pada umumnya, yang membedakan adalah perbandingan antar bahan. “Komposisi untuk membuat beton memadat mandiri dengan ukuran 1 m3 dengan fly ash 70%, menggunakan komposisi bahan antara lain semen 221 kg, pasir 579 kg, air 211 kg, kerikil 703 kg, superplasticizer 7,37 kg, dan fly ash 516 kg,” ujar Stefanus tentang komposisi beton memadat mandiri miliknya.
Mekanisme dari beton memadat mandiri ini lebih praktis daripada beton pada umumnya. “Tinggal menuang saja, maka beton akan langsung menyebar sendiri, sehingga tidak memerlukan mesin dan tenaga untuk memadatkan, karena bentuknya agak cair. Namun meskipun cair, tetap mempunyai campuran yang homogen (tidak ada komponen yang terpisah-red),” ujar Stefanus.
Harga beton memadat mandiri ini relatif lebih mahal. Namun, beton memadat mandiri ini mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada beton pada umumnya, proses pengerjaannya lebih hemat tenaga dan mesin, dan mempunyai berat yang relatif sama dengan beton pada umumnya. Sehingga beton memadat mandiri tidak mudah keropos dan dapat bertahan lebih lama. “Karena menggunakan superplasticizer, yang berfungsi untuk memudahkan proses penyampuran komponen, sehingga membuat beton memadat mandiri ini relatif lebih mahal,” jelasnya.
Beton memadat mandiri hasil penelitian Stefanus ini sudah diikutkan dalam konferensi internasional yang diselenggarakan di Vietnam bulan Desember 2014 lalu, yang diikuti oleh negara-negara ASEAN dan beberapa negara maju, seperi Jepang. “Pada konferensi itu, saya menjelaskan tentang beton memadat mandiri dengan menggunakan fly ash sebanyak 70%,” terangnya.
“Karena saat ini beton memadat mandiri ini masih berupa karakterisasi materialnya, maka perkembangan selanjutnya menuju ke arah aplikasi prototype yang berupa balok dan akan dikembangkan lagi sehingga mempunyai kemampuan self-healing atau bisa memperbaiki dirinya sendiri, sehingga diperlukan adanya sensor yang berfungsi untuk mendeteksi bagian yang rusak,” ujar Stefanus tentang rencana pengembangan beton memadat mandiri miliknya.