Penerjemahan masih Berbasis Literasi
“Sebagian besar teks terjemahan permainan kata memiliki koherensi intratekstual yang positif. Ini menandakan bahwa pernerjemahan permainan kata cenderung bisa dipahami oleh pembaca teks bahasa sasaran.”
Demikian ungkap Dr. Eko Setyo Humanika saat memertahankan disertasinya yang berjudul Kajian Terjemahan Wordplay dan Parodi dalam Alice’s Adventures in Wonderland dalam Bahasa Indonesia, pada hari Kamis, 2 Agustus 2012 di Gedung Rektorat UNS.
Dalam penelitiannya, dia menemukan pelbagai jenis pengalihbahasaan, seperti: 68 persen secara literal, 2 persen editorial, 16 persen wp-wp translation, 6 persen teknik peminjaman, 1 persen penghilangan, dan 7 persen teknik kompensasi.
Dominasi pengalihbahasaan secara literal itu akhirnya mengaburkan maksud permainan kata dan parodi yang dibuat penulis asli. Ia mencontohkan permainan kata, “do cats eat bats? do bats eat cats?.” Oleh penerjemah, permainan kata tersebut diterjemahkan menjadi “Apakah kucing makan kelelawar? Apakah kelelawar makan kucing?”.
Eko menjelaskan, penerjemahan seperti itu benar secara literal. Namun, maksud permainan kata yang diungkapkan justru tidak tersampaikan. Kata “cats” dan “bats” memiliki pelafalan yang hampir sama. Berbeda dengan kata “kucing” dan “kelelawar”.
“Berbeda dengan pengucapan ‘cats‘ danĀ ‘bats‘, pengucapan ‘kelelawar’ dan ‘kucing’ sangat berbeda. Yang satu ‘Ng’ dan yang lain ‘ar’,” jelasnya.
Untuk menghindari kasus seperti itu, doktor ke-51 yang dihasilkan UNS itu menyarankan agar penerjemah mengetahui dulu bahwa mana yang parodi dan permainan kata secara pasti. Lalu, diterjemahkan menjadi permainan kata atau parodi juga.
Saat ditanya bagaimana cara untuk mengetahui itu parodi atau permainan kata? Doktor yang lulus dengan IPK 4,00 itu mengatakan, “Harus banyak baca. Karena tidak mungkin bisa dipahami kata-kata demi kata atau kalimat demi kalimat. Penerjemahan harus dikaitkan dengan konteks,” pungkasnya. (Tim Web UNS).