Proses Transformasi Lambat Hambat Demokratisasi

Lambatnya proses transformasi budaya di dalam masyarakat di Indonesia menjadi hambatan dalam pembangunan demokrasi di tanah air. Keterlambatan itu khususnya pada soal yang berkenaan dengan pandangan masyarakat mengenai kekuasaan (power).

“Masyarakat Indonesia dari dulu hingga sekarang cenderung masih memandang kekuasaan sebagai suatu entitas yang menakjubkan,” tutur Prof. Dr. Pawito saat menyampaikan orasi ilmiah di hadapan sivitas akademika Universitas Sebelas Maret (UNS) pada hari Rabu, 2 Januari 2013 di Auditorium UNS.

Pawito menjelaskan, hal itu tampak pada berbagai kenyataan termasuk misalnya sikap dan perilaku pejabat atau penguasa yang cenderung arogan. Selain itu, kawalan dengan sirine untuk kendaraan pejabat tertentu yang melintas memaksa pemakai jalan lain harus menepi atau berhenti terkesan berlebihan. Fenomena itu diperparah lagi dengan permintaan pelayanan yang kerapkali menguras energi ketika pejabat daerah menerima kedatangan pejabat pusat. “Pemberian privilege lainnya kepada pejabat atau penguasa mengokohkan keyakinan bahwa kekuasaan begitu nikmat, power is sweet, so sweet,” ungkap Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS itu.

Faktor penghambat lainnya, papar Pawito, adalah adanya bias cara pandang terhadap praktik berdemokrasi. Bias itu terlihat pada keyakinan bahwa demokrasi sudah cukup kalau mengikuti prosedur dan atau ketentuan-ketentuan hukum yang ada dan menganggap tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moralitas. “Sebagai konsekuensi dari cara pandang demikian maka ada seorang bupati, misalnya, menjelang akhir masa jabatan kedua, ia mendorong istri atau anaknya untuk ikut kompetisi pada periode berikutnya. Menurut ketentuan hukum, hal demikian memang tidak salah. Namun, dari segi etika, sulit kiranya untuk membela pandangan bahwa hal demikian adalah kehendak rakyat yang sebenarnya,” ujarnya, santun.

Persoalan lainnya adalah rendahnya sosialisasi politik. Pawito membagi lima jenis saluran sebagai sarana sosialisasi politik, antara lain: jalur pemerintah, jalur organisasi, jalur media massa, jalur kelompok, dan jalur budaya. Namun, dalam pandangannya, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa kegiatan dan proses-proses sosialisasi politik lebih bertumpu pada jalur resmi pemerintah. “Karena sosialisasi politik pada dasarnya dimaksudkan untuk penciptaan situasi harmoni dan penumbuhan karakter bangsa dalam suatu kerangka pembangunan bangsa jangka panjang maka sosialisasi dengan menggu-nakan jalur budaya selayaknya juga diberi tempat,” urai Pawito.
Pada kesempatan yang sama, Rektor UNS Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. menghimbau, pihak kampus agar bersikap dewasa dalam menghadapi berbagai persoalan sehingga dapat mencegah segala kemungkinan yang bisa terjadi. “UNS ke depan bisa maju apabila bersama-sama untuk menjadi kuat dan itu penting dilakukan antara seluruh pimpinan universitas, fakultas, pascasarjana, unit, staf, dan semua unsur yang ada di UNS untuk membawa kegemilangan dan masa depan UNS yang dicita-citakan bersama,” kata Ravik Karsidi.
[red.uns.ac.id]