Film Dokumenter Pertama Karya Tunanetra Diputar di UNS

Dari Titik Nol, film dokumenter pertama karya tunanetra Balai Rehabilitasi Sosial Bakti Chandrasa diputar di Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS), Senin (24/6). Film ini mengisahkan kemandirian para tunanetra dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.

Penulis skenario film, Agatha Febriani Anjarsari, menuturkan bahwa faktor yang melatarbelakangi pembuatan film ini salah satunya adalah keberadaan para tunanetra yang bukan tunanetra sejak lahir, misalkan mereka yang menjadi tunanetra ketika kuliah atau kerja. Untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari, mereka harus belajar kembali dari nol.

“Film ini untuk memotivasi mereka yang masih tergantung dengan orang lain, terutama mereka yang belum menemukan komunitas mereka sendiri, seperti balai ataupun SLB,” ungkap gadis lulusan Sastra Indonesia UNS kepada wartawan di sela-sela acara.

Pembuatan film berdurasi 1 jam 10 menit ini memakan waktu hingga 1 tahun lamanya. Hal ini dikarenakan terbatasnya sarana yang dimiliki. Kru pembuatan film ini pun tergolong sedikit. Hanya sejumlah 6 orang, dengan 5 orang tunanetra yang bertugas dalam bidang sutradara, penulisan naskah, kameramen, dan perlengkapan. Sementara yang satu bertugas sebagai editor akhir finalisasi film.

Pembuatan film ini cukup unik, yaitu berkebalikan proses dengan pembuatan film biasa. Bila pada pembuatan film biasa, naskah film dibuat terlebih dahulu kemudian dilakukan pengambilan gambar, maka dalam film ini Agatha dan rekan-rekannya mengambil gambar terlebih dahulu, baru kemudian disusun menjadi satu film utuh sesuai naskah film yang dibuat oleh Agatha.

Pengambilan gambar dilakukan oleh 2 orang rekan Agatha, Wisnu Fandi Nugroho dan Daniel Yasoda Krisnanova, yang masih mampu melihat cukup baik (low vision) dengan hp berkamera 1,3 Mpx. Untuk membuat naskah, Agatha memercayakan pembacaan gambar-gambar yang sudah diambil itu kepada dua rekannya. “Hal terpenting dalam pembuatan film ini adalah saling percaya dengan teman,” tandas Agatha.

Dengan adanya film ini, ia berharap masyarakat mengetahui kehidupan para tunanetra, sehingga mereka dapat membantu para tunanetra sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, ia juga berharap Pemerintah Kota Surakarta juga menyediakan fasilitas yang dibutuhkan para tunanetra.

Ke depan, Agatha berharap proses ini tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Ia berharap para penyandang cacat lainnya (difabel) mengikuti jejak mereka untuk menghasilkan karya-karya baru.[red-uns.ac.id]