Perjuangkan Bahasa Indonesia dan Melayu Jadi Bahasa Internasional
Universitas Sebelas Maret (UNS) bekerja sama dengan Universiti Utara Malaysia (UUM) terus mengupayakan agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu ditambahkan sebagai bahasa internasional. Hal itu didukung dengan banyaknya penduduk di dunia yang telah menggunakan kedua bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Rektor UNS Solo Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. mengungkapkan, di Indonesia sebenarnya sudah pernah ada peluang dari Pusat Bahasa untuk mengembangkan hal itu terutama untuk memperjuangkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu menjadi bahasa internasional. Menurutnya, dengan banyaknya jumlah penutur bahasa, membuat hal itu sangat pantas untuk diperjuangkan.
“Jadi melihat jumlahnya penduduk di dunia sebenarnya memang pantas kiranya kita perjuangkan sebagai salah satu tambahan bahasa internasional baik dalam bahasa Melayu maupun Indonesia,” kata Ravik dalam jumpa persnya di ruang Sidang Rektor UNS pada hari Minggu, 2 September 2012 pagi.
Dia menyebutkan, jika sekarang bahasa Indonesia yang menginduk kepada bahasa Melayu telah dituturkan oleh sekitar 240 juta penduduk Indonesia. Belum lagi di Malaysia dan sebagainya yang berjumlah hampir 400 juta jiwa di dunia.
Hal tersebut, Ravik menilai, sudah cukup kuat untuk menetapkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Asalkan, Indonesia dan Malaysia memiliki bargaining value atau nilai tawar yang kuat di tataran global.
“Mestinya, kalau kita mempunyai bargaining yang kuat di tingkat global tentu akan berhasil dan saya kira bila itu secara terus menerus diusahakan supaya ke depan ada pengakuan sebagai salah satu tambahan bahasa internasional,” paparnya.
Namun, Ravik mengakui, jumlah penutur banyak saja tidak mencukupi. Perlu beberapa unsur lain seperti ekonomi dan politik yang juga turut berpengaruh. Dia juga tidak menampik jika bangsa-bangsa di ASEAN terutama bangsa rumpun Melayu bersatu dan berjuang bersama kemungkinan besar akan terwujud.
Pernyataan dukungan datang dari Ketua Dewan Penyantun UNS Akbar Tandjung. Akbar menambahkan, yang paling utama saat ini adalah indikasi perlu adanya peningkatan kemampuan dan kemajuan bangsa Melayu di bidang ekonomi.
“Ekonomi itu suatu kegiatan yang tidak membedakan suatu negara dan memiliki sifat terbuka. Ini menjadi persoalan penting, terlepas itu persoalan pendidikan juga,” imbuhnya.
Selain itu, Naib Canselor UUM Prof. Dr. Mohamed Mustafa Ishak mengatakan, halangan terbesar justru karena banyak orang yang lebih menyukai menggunakan bahasa Inggris. Sehingga bahasa Inggris berkembang begitu pesat.
Ia berpendapat, apabila Indonesia dan Malaysia menggerakkan dan memasukkan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu ke Brunei Darusalam dan diperbolehkan masuk misalnya akan membuka peluang yang besar. “Tidak ada masalah di kalangan penutur bahasa melayu karena di kalangan ASEAN termasuk besar digunakan. di Brunei misalnya kalau boleh masuk. Di kalangan negara-negara Islam sendiri hanya sekitar satu juta penutur bahasa Arab. Tetapi kalau bahasa Melayu ada 200 juta lebih penuturnya. Jadi sebetulnya dasar di kalangan umat Islam itu bahasa Melayu bukan bahasa Arab,” jelas Mustafa. (red-uns.ac.id).