Nostalgia dalam Festival Dolanan Tradisional UNS

Salah satu kelompok dari SD Negeri 3 Palur, Sukoharjo saat memerankan D'Fani Ninidhok di Auditorium UNS Surakarta pada Rabu (15/4).

Siang itu, terlihat kerumunan bocah sedang memaksa D’Fani, seorang gadis kecil bertopeng menari. Dua bocah laki-laki berebut bernyanyi agar gadis pemakai topeng Ninidhok itu mau menari. Satu menyanyikan lagu Sing Penting Joget, satu lagi menyanyi Sakitnya Tuh di Sini—dua lagu yang sering diputar di layar kaca. “Ninidhok gelem nari yen lagune Lir-Ilir,” ujar salah satu bocah. Benar saja, setelah dinyanyikan lagu Lir-Ilirsembari menari, D’Fani pun ikut menari. Dengan muka polos yang sumringah, bocah-bocah dari SD Negeri 3 Palur, peserta nomor undi 4 Festival Dolanan Tradisional itu menyelesaikan dolanan mereka.
Ditonton ratusan pasang mata, anak-anak SD dari eks-Karasidenan Surakarta dan Blora melakukan pergelaran permainan tradisional di Auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rabu (15/4). Dengan durasi sekitar lima belas menit, tiap kelompok memainkan berbagai jenis permainan tradisional yang mulai jarang dimainkan anak-anak masa kini. Di antaranya yaitu egrang, lompat tali, nekeran, ular naga, dan lain sebagainya.
Diiringi dengan tabuhan gamelan dan lagu-lagu Jawa, pergelaran permainan tradisional disuguhkan dengan apik dan lebih hidup. Walaupun para pemain masih berusia sekolah dasar, mereka begitu menghayati tiap peran yang dimainkan. Kelompok dari SD Negeri Cemara 2 misalnya, saat bermain balap karung mereka seperti tidak sedang berakting. Seolah-olah mereka sedang bermain dalam kesehariannya. Ada yang curang untuk bisa menang dan ada pula yang menangis karena kalah.
Wajah lugu dan polos anak-anak kecil menghiasi tiap adegan pagelaran yang berjudul Festival Dolanan Tradisional Se-Jawa ini. Mereka menggambarkan kondisi anak-anak kecil di masa lampau yang belum tersentuh teknologi. Yang mana dahulu mereka rajin berkumpul bersama teman-teman untuk sekedar bermain ular naga, egrang, dan berbagai permainan tradisional lainnya. Sambil sesekali menyanyikan Lir-Ilir, Cublak-Cublak Suweng, maupun Menthok-Menthok.
Berbagai ide-ide kreatif pun disuguhkan oleh para pembimbing dalam pergelaran permainan tradisional ini. Tak hanya peralatan ataupun kostum yang kontemporer, pembimbing juga membuat tema-tema yangantimainstream untuk menggait minat para dewan juri. Salah satunya dari SD Negeri 3 Palur, Sukoharjo yang mengangkat tema D’Fani Ninidhok.
D’Fani Ninidhok menceritakan tentang seorang gadis yang selalu menjadi bintang kelas hingga kelas 5 SD. Namun sayang, dia tidak mau berkumpul bersama temannya untuk sekedar bermain. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan les privat. Hingga akhirnya teman-temannya berhasil mengajak D’Fani bermain dengan iming-iming sate lontong. D’Fani dijadikan Ninidhok selama beberapa jam di pekarangan rumah. Setelah D’Fani menangis, barulah teman-temannya memberikan sate lontong yang tadi dijanjikan.
Pergelaran ini tak hanya mengangkat kembali permainan tradisional yang mulai ditelan zaman. Namun ada juga hikmah yang dapat dipetik dari permainan tradisional yang dipentaskan oleh 17 kelompok anak-anak SD dan sanggar tersebut. Dari kisah D’Fani Ninidhok misalnya, penononton diajak menggali sebuah pelajaran berharga untuk tidak egois dan tetap menjalin hubungan baik antar sesama teman.
Dengan adanya Festival Dolanan Tradisional Se-Jawa ini, panitia berharap dapat membina karakter anak-anak sebagai aset penerus bangsa dengan sifat peduli, kerja sama, dan tolong menolong. “Agar semua menjadi peduli terhadap tradisional dolanan sehingga tidak punah. Kemudian anak-anak menjadi dekat, akrab, dan cinta dengan tradisi. Mengingat mereka nantinya adalah penerus generasi bangsa,” terang ketua panitia, Imam Sutarjo. Selain pergelaran permainan tradisional, acara ini juga menghadirkan Komunitas Anak Bawang dan Sanggar Sarotama untuk mengisi acara. [afifah.red.uns.ac.id]