Bahasa Daerah Pembentuk Karakter Manusia

Bahasa daerah merupakan salah satu faktor pembentuk karakter manusia, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai moral yang bisa diteladani. Demikian diungkapkan Pakar Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Anhar Gonggong dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu bertemakan Bahasa Daerah sebagai Sumber Kearifan Bangsa, Sabtu (20/4) di Aula Gedung F Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS. Oleh karena itu, tambahnya, bahasa daerah harus dipertahankan dan berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri.
Penghapusan bahasa ibu, yaitu bahasa daerah, maupun pengintegrasian bahasa ini ke dalam seni dan budaya dalam Kurikulum terbaru 2013 disebut oleh Gonggong sebagai usaha yang minimal, bukannya maksimal. “Semua kegiatan bersentuhan dengan bahasa, dan lewat seni bukan tanpa bahasa. Bila diterapkan, maka ada bagian tertentu atau nilai yang ada dalam bahasa daerah yang bisa hilang,” kata dia seusai acara.
Ia menyebutkan bahwa ketika manusia memasuki lingkungan pendidikan, seharusnya tidak hanya otak saja yang diterima, melainkan juga hatinya. Akan sangat berbahaya bila manusia tidak bisa membentengi atau memperkuat diri sendiri dengan karakter diri dari arus luar maupun berbagai kebudayaan lainnya dengan karakter diri, akibatnya menjadi tidak kenal dengan dirinya sendiri. “Misal saat ini banyak remaja maupun dewasa yang tengah gandrung dengan musik Korea. Padahal dari kebudayaan itu, terutama lewat bahasa dan tingkah laku tertentu dapat membentuk karakter orang,” tuturnya.
Ia menyadari bahwa bahasa ibu sangat penting sebagai pembentuk karakter manusia. Oleh karenanya ia menolak penghapusan bahasa ibu. “Menurut saya seharusnya bisa berdiri sendiri pada tingkatan tertentu, misal saya mendapat bahasa ibu sampai dengan kelas VI SD, dan paling tidak dapat membuat anak ini tidak lupa (dengan bahasa ibu) dan minimalnya begitu (sampai SMA),” tandas dia.
Tanggung jawab atas bahasa ibu, menurutnya, berada di tangan pemerintah atau pengambil kebijakan. Ia menyayangkan sikap diantara para pemimpin yang merasa rendah diri ketika bahasa Indonesia digunakan sepotong dan digabung dengan bahasa asing. “Pengambil kebijakan ini seakan – akan cukup kasih ilmu, padahal penyakit kita kalau ilmu dipikirkan secara pragmatis dengan catatan mampu memiliki kekuatan bersaing dengan bangsa lain, itu oke – oke saja. Tetapi kita malah akan kehilangan lainnya walau mampu bersaing, yakni karakter tidak kuat. Itulah pentingnya fakultas (yang memuat bahasa daerah di kampus),” tegas Gonggong.
Iapun menguraikan, sebelum bahasa Indonesia ada, bahasa lokal atau bahasa daerah berguna sebagai alat komunikasi. “Proses meng-Indonesia itu baru 37 (tahun). Sebelumnya, ribuan tahun lalu, bahasa lokal ada, ditambah dengan bahasa Belanda. Bahasa lokal sebenarnya tidak hanya sekedar bahasa komunikasi tapi juga jadi bahasa ilmu dan bahasa kekuasaan,” jelasnya.
Sementara itu, Dekan FKIP UNS Furqon Hidayatullah mengungkapkan bahwa bahasa ibu ataua bahasa daerah memiliki khasanah dan nilai kontribusi yang bagus terhadap bangsa, terutama karakter. Sehingga sangat penting bagi pendidikan awal. Banyaknya kekhawatiran akan pergeseran bahasa ibu, dinilainya, sebagai momentum untuk bangkit. “Ini me- narik dan sekaligus menjadi penge- nalan dan pemantapan dari pro- gram studi (prodi) baru bahasa Jawa di FKIP, yang sudah memasuki tahun ketiga,” imbuh dia.
[red-uns.ac.id]