Kemendagri Revisi Tiga UU
Banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota DPRD, dan bupati/walikota yang terlibat kasus korupsi membuat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berniat merevisi tiga undang-undang (UU). Ketiga UU antara lain: RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilukada, dan RUU Desa.
Demikian ungkap Staf Ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bidang Hukum, Politik dan Antar Lembaga, Reydonnyzar Moenek kepada wartawan, di sela-sela kegiatan Bimbingan Teknis (Bintek) Penyusunan APBD Tahun 2014 Bagi SKPD Kabupaten Grobogan yang digelar Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah (Puslitdesbangda) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS), Kamis (29/8), di Hotel Sahid Jaya, Solo.
Reydonnyzar menyebutkan, berdasarkan data yang dimiliki Kemendagri ditemukan setidaknya 1.367 PNS dan 2.545 anggota DPRD pernah terlibat kasus korupsi. Jumlah itu masih ditambah sekitar 297 kepala daerah yang pernah terlibat kasus korupsi baik sebagai tersangka, saksi, maupun terpidana. Hal itu disinyalir sebagai dampak dari pemilu kepala daerah (pilkada) secara langsung yang mengakibatkan lahirnya politik berbiaya tinggi. “Sejak reformasi pilkada langsung ternyata membawa implikasi, distorsi serta bias yang begitu tinggi. Betapa mahal biaya pilkada yang harus ditanggung para pasangan calon. Semua itu akhirnya membawa implikasi yang tidak mudah,” tuturnya.
Mahalnya biaya politik itu seperti yang pernah terjadi pada pilkada Jawa Timur yang digelar hingga tiga putaran dan menelan dana sebesar Rp 970 miliar. Jumlah itu belum ditambah pilkada di beberapa daerah lain. Selain itu, penentuan pasangan calon yang relatif mudah, minim kapasitas dan kapabilitas, dan calon yang didukung partai politik bisa mengakibatkan terjebak dalam politik transaksional.
“Itu yang menjadi sumber keprihatinan kita hingga akhirnya Kemendagri berusaha untuk mencoba memformat ulang dalam memaknai pilkada langsung yang begitu mahal. Langkah nyatanya dengan merevisi tiga UU, yaitu: RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilukada dan RUU tentang Desa,” papar Reydonnyzar.
Reydonnyzar menggagas, dalam pilkada tidak semuanya dipilih secara langsung. Bisa jadi gubernur atau bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Alternatif lain, gubernur dipilih oleh DPRD dan hanya bupati/walikota yang dipilih secara langsung.
Begitupun dengan penetapan pasangan gubernur atau bupati/walikota. Wakil gubernur atau wakil bupati/walikota akan dipilih dari kalangan birokat yang memiliki kepangkatan secara kecakapan cukup tinggi. “Semua itu digagas Mendagri yang kemudian diusulkan dalam RUU,” jelas Reydonnyzar.[red-uns.ac.id]