3 dari 5 Masyarakat Solo Konsumtif Irasional

Sebanyak 3 dari 5 masyarakat Solo tergolong dalam masyarakat konsumtif irasional. Temuan ini terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) mengenai konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dari responden di 5 kecamatan di Solo, meliputi: Banjarsari, Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, dan Jebres pada 3-21 Oktober 2013.

Responden yang diambil sejumlah 250 orang, yang terdiri atas pelajar, ibu rumah tangga, tokoh masyarakat, pekerja profesi, dan wiraswasta. Hasilnya 60 persen pola perilaku masyarakat Kota Solo adalah konsumtif irasional. Sedang sisanya sebanyak 40 persen adalah konsumtif rasional. Pola perilaku ini ditengarai diakibatkan oleh adanya pergeseran dalam masyarakat.

“Kini mulai ada pergeseran di masyarakat. Dari keinginan menjadi kebutuhan dan kemudian menjadi gaya hidup.  Gaya hidup itu ternyata muncul secara seragam. Kita seolah-olah terpaksa bersikap konsumtif tetapi seolah-olah sangat rela konsumtif. Sehingga mau tidak mau menjadi individu yang harus konsumtif berdasarkan kebutuhan maupun keinginan,” ujar Ketua Proyek Officer Pola Perilaku Konsumtif Kota Solo, Febrianti Dwi Lestari kepada wartawan usai pemaparan Seminar Nasional Sosiologi Perkotaan Ketahanan Energi Kota, Rabu (20/11), di ruang seminar gedung FISIP UNS.

Selain pergeseran tersebut, ada 2 faktor lain yang membuat masyarakat kota menjadi konsumtif, yaitu ketergantungan teknologi dan konsumtif BBM. Pergeseran kebutuhan menjadi keinginan dan gaya hidup dapat dilihat dari maraknya masyarakat berbondong-bondong membeli produk baru demi prestige tanpa melihat urgensi kebutuhannya. “Contohnya saja ada teman yang punya BB (Blackberry), biar dikatakan update juga akhirnya beli juga BB. Kemudian membeli mobil BMW, yang dibeli bukan karena butuh mobil, tapi yang ingin didapat adalah prestige,” kata Febri.

Pada riset ini juga ditemukan bahwa penggunaan BBM di kalangan masyarakat menengah ke bawah cukup besar dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah ke atas. Sebab, mobilitas masyarakat ekonomi menengah ke bawah cukup besar, sehingga porsi konsumsi BBM dari penghasilan per bulan cukup besar.

Sementara itu, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo W., menyebutkan bahwa sebagian besar energi tidak dihasilkan di wilayah maupun oleh masyarakat perkotaan. Akan tetapi, konsumsinya terbesar di perkotaan. Ia mengungkapkan berdasarkan data BAPENAS 85 persen masyarakat tinggal di perkotaan. “Artinya apa? Ketika 85 persen (masyarakat) di perkotaan itu artinya konsumsi BBM ada disitu. Dan saya kira bisa jadi 60-70 persen konsumsi (BBM) itu muncul di perkotaan,” ujarnya.

Ia pun mengatakan cadangan minyak di Indonesia untuk BBM hanya cukup sampai 23 tahun ke depan. Oleh karena itu, harus dipikirkan cara-cara untuk mencari energi terbarukan (renewable energy) agar tidak tergantung pada minyak bumi.  Ajak masyarakat untuk kreatif bukan industri kreatif. Masyarakat kreatif ini mendorong penciptaan-penciptaan renewable energy. Kita lihat yang melimpah apa? Sinar matahari. Kita cek berapa fasilitas tentang energy yang menangkap sinar matahari misal solar cell. Misal angin, kita ini garis pantai luar biasa otomatis kecepatan angin cukup tinggi. Energi yang terbarukan dengan kincir angin yang jarang diperbincangkan,” tutur Derajad. [red-uns.ac.id]