Pesona Kalimantan dalam Dayak Butterfly
Ketertarikan Ning Hadiati pada pesona etnik di Indonesia dijadikannya sebagai sumber inspirasi dalam setiap desain kostum miliknya. Ning mengasah intuisinya untuk mengeksplorasi pesona etnik itu dengan berpartisipasi aktif sebagai desainer dalam helatan Solo Batik Carnival (SBC) selama enam tahun.
Selama di SBC, perempuan yang menjadi pengajar di program studi (prodi) Kriya Tekstil/Seni Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS) ini, mengaku telah merancang beberapa kostum dengan berbagai tema, seperti sekar jagad, wayang orang, panji, legenda, metamorfosis, dan earth to earth. Dari situlah Ning lantas didaulat oleh Yayasan Putri Indonesia untuk merancang kostum Putri Indonesia Pariwisata 2013, Cok Istri Krisnanda, yang menjadi kontestan dalam ajang Miss Supranational 2013 di Belarusia.
Perempuan kelahiran Cilacap 11 September 1959 ini lantas menyiapkan kostum yang dinamainya dengan Dayak Butterfly. Ning berpendapat, untuk ajang internasional ini, ia ingin mengenalkan pesona Kalimantan kepada dunia.
“Konsepnya memang tradisi Kalimantan. Semua hadir dalam motif, manik-manik, dan beludru. Seluruh bahannya juga dari Kalimantan, seperti kulit kayu untuk motif serat di kemben dan bulu burung Enggang dan burung Batang Macan,” ujar Ning saat ditemui di Kantor Humas dan Kerjasama, Jumat (2/8).
Ning menceritakan, aksen flora dan fauna khas Kalimantan sangat kuat dia tampilkan. Untuk flora, ia mengambil indpirasi dari pohon Hayat. Pohon berbentuk sulur ini banyak dijumpai di hutan pedalaman Kalimantan. Masyarakat setempat bahkan menamai pohon ini sebagai pohon kehidupan. “Sulur ini kita aplikasikan di bagian sayap,” tuturnya.
Desain sayap dengan dominan warna merah dan emas dibuat Ning menggunakan busa ati dengan tebal 2 milimeter sebanyak dua lapis dengan kawat aluminium sebagai pengait. Hal itu dilakukan supaya sayap tidak mudah patah saat kostum dikenakan. “Pembuatan sayap ini saya dibantu suami. Karena dia orang Teknik, dia bisa menentukan letak beban sayap sekaligus merancang agar sayap memiliki beban rata,” aku Ning.
Pada bagian bawah, Ning memilik beludru sebagai bahan rok pendeknya. Beludru, lanjut Ning, masih digunakan sebagai pakaian adat suku Dayak hingga kini.
Dengan kostum Dayak Butterfly juga Ning ingin mengajak masyarakat untuk peduli melestarikan lingkungan. Ning menjelaskan, pesan itu ia tampilkan dalam bulu burung Enggang dan burung Batang Macan. Eksistensi kedua burung itu kini kondisinya hampir punah. Masyarakat pun hanya mengambil bulu dari burung yang sudah mati. Ning pun mengakui dirinya kesulitan untuk mendapatkan bulu burung-burung itu. Akhirnya, ia hanya dipinjami dari Kalimantan.
Kostum dengan berat 5 kilogram ini menelan biaya sekitar Rp 3,5 juta. Untuk menyelesaikannya, Ning tak menentukan secara pasti. Pasalnya, Ning hanya mengerjakan pembuatan kostum pada malam hari pukul 22.00 sampai menjelang sahur.[red-uns.ac.id]