Belajar dari Keraton

Keraton adalah situs pembelajaran. Dari sana bisa menemukan cara untuk memahami sebagian sejarah bangsa Indonesia. Demikian ungkap Ketua Umum Yayasan Warna Warni Indonesia Krisnina Maharani Akbar Tandjung saat berbicara dalam Seminar Reposisi Keraton Surakarta untuk Masyarakat, Rabu (3/7/), di Kampus Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS).

Krisnina yang juga keturunan Pakubuwana VIII dan IX menuturkan, pergantian kekuasan di lingkungan dinasti Mataram selalu diliputi konflik dan intrik. Hal itu bermula pada tahun 1820 di bawah pemerintahan Pakubuwana V. Lalu, fenomena seruap berlanjut hingga Pakubuwana XI yang pelantikannya dilakukan oleh Belanda. Bahkan, kini, konflik dalam pergantian kekuasaan itu pun masih berlangsung.

Keraton, menurut Krisnina, tidak mampu menyelesaikan konflik keluarga secara mandiri dalam hal perebutan kekuasaan. Fakta sejarah menunjukkan keraton memerlukan peran pemerintah dalam menentukan siapa pemimpin yang berkuasa di keraton.

Sementara itu, Ahli sejarah UNS Prof. Hermanu Joebagio menandaskan, posisi Keraton Kasunanan Surakarta lebih luwes disebut sebagai cultural heritage of the traditional palace ketimbang tuntutan swapraja. Dengan demikian, cultural heritage yang dimiliki keraton bisa dimiliki para elit Keraton Kasunanan baik sebagai kekayaan kultural maupun income.

“Pemerintah pusat juga harus sudah memikirkan persoalan kekayaan budaya lokal bangsa itu untuk mempromosikan sebagai strategi kepariwisataan nasional,” ujar Hermanu. [red-uns.ac.id]