Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Disharmoni

Sistem kepartaian dan sistem pemilu yang ada di Indonesia selama ini tidak harmoni bahkan cenderung bertolak belakang. Asas sistem kepartaian menganut multipartai sederhana, menguatkan pelembagaan sistem kepartaian, dan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. Sementara sistem pemilu menganut asas multipartai ekstrem, melemahkan pelembagaan sistem kepartaian, dan sistem pemilu proporsional terbuka murni yang disproporsional.

“Sistem kepartaian tidak kompatibel dengan sistem pemilu. Kedua sistem tersebut tidak saling menopang sebagai satu kesatuan sistem, sehingga tidak tercapai harmonisasi antara maksud dan tujuannya untuk menyokong efektifitas sistem pemerintahan presidensial,” ungkap Dr. Agus Riwanto kepada KONTAK usai menjalani sidang senat terbuka ujian doktor di Gedung Rektorat UNS pada hari Rabu, 10 Oktober 2012.

Agus memandang, dengan sistem multipartai ekstrem yang selama ini terjadi mengakibatkan munculnya kompetisi antarcalon dalam pemilu bukan antarpartai politik (parpol). “Kompetisi dalam pemilu bukan pada parpol melainkan pada calon. Hal ini melanggar pasal 22E ayat 3 UUD 1945 pascaamademen yang menyebutkan peserta pemilu adalah parpol bukan perorangan,” tuturnya.

Disharmoni tersebut, lanjut Agus, berdampak pada pemilu 2009 misalnya, menyebabkan biaya pemilu mahal, tingginya suara tidak sah, kecurangan dan pelanggaran pemilu tinggi, kerumitan dalam rekapitulasi, tingginya sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, konstelasi politik yang selalu berubah-ubah, dan munculnya pemilih yang tidak setia.

“Yang paling ditakuti dan berbahaya adalah lahirnya politik kartel dan materialisme politik. Jadi, yang tampak adalah mendesain seolah-olah ada kompetisi tapi sesungguhnya tidak. Sebab yang ada di sana adalah transaksi politik,” kata laki-laki yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sragen.

Selain itu, dampak yang timbul juga berimbas pada pelaksanaan sistem presidensial yang ada di Indnesia. Sebab, sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai ekstrem. “Idealnya untuk sistem presidensial menggunakan sistem multipartai sederhana sehingga jumlahnya tidak lebih dari 5 partai politik,” terang Agus.

Dampak lain seperti sistem presidensial tidak kompatibel dengan pelembagaan partai politik yang lemah. Sistem presidensial juga tidak kompatibel dengan dengan sistem pemilu terbuka murni yang disproporsional.

Agus menambahkan, disharmoni itu juga berpengaruh terhadap pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Ia menilai, pelaksaanaan sistem presidensial pada pemerintahan SBY lebih menonjolkan citarasa sistem parlementer. “Hampir semua pengangkatan jabatan seperti kapolri, gubernur BI, Mahkamah Agung, ketua KPK, menteri sampai wakil menteri harus minta persetujuan DPR. Padahal, mereka ditunjuk untuk bekerja untuk presiden. Mereka bertanggung jawab kepada presiden,” jelasnya.

Sistem multipartai ekstrem itu, tandas Agus, mengakibatkan capaian produk legislasi rendah. Sebab, semakin banyak tarik ulur kepentingan parpol yang harus diakomodasi bukan justru untuk kepentingan publik. Sistem multipartai ekstrem itu pula menimbulkan tekanan politik yang justru melemahkan presiden. “Hal ini yang kemudian SBY tampak sebagai sosok peragu. Walau saya yakin, secara kepribadian dia tidak begitu. Tapi tidak kuasa untuk menggunakan kekuasaannya. Justru malah dikendalikan oleh parpol.”

Untuk itu, doktor ke-56 yang dihasilkan UNS itu merekomendasikan perlunya dilakukan perubahan terhadap UU Kepartaian dan UU pemilu untuk sistem multipartai sederhana yang maksimal diikuti 5 partai. “Sistem itu harus low cost dan efisien, pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah serta harus dilakukan kodifikasi terhadap UU Politik karena setiap mau pemilu selalu ada revisi UU,” pungkas Agus yang lulus dengan nilai 3,91 dengan predikat cumlaude. (red-uns.ac.id).